Rabu, 26 Juni 2013

Arca Joko Dolog

   Arca di tengah kota? nah, baru saya tahu setelah menyaksikan acara Mr. Tukul Arwana disalah satu statiun televisi. Alhasil, besoknya segera menuju lokasi yang dimaksud. Ternyata tempatnya tidak jauh dari salah satu mall di Surabaya. Berada di jalan yang yang dinamai sama dengan nama arca tersebut yaitu Joko Dolog, lokasi Taman Apsari. Pintu masuk
kecil dibangun menyerupai gapura.
   Menurut beberapa sumber, Arca Joko Dolog disebut juga Arca Budha Mahasobya. Arca ini menurut legenda dibangun untuk mengormati kertanegara putra wisnu wardhana yang terkenal memiliki kebijaksanaan. Arca Joko Dolong ditemukan di kandang gajah yang kemudian pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1827 (Residen De Salls) dipindahkan ke Surabaya (Taman Apsari)





  Beberapa arca yang sudah tidak utuh lagi nampak di sisi kiri dan kanan area. Suasana yang teduh karena banyak pohon dan tanaman di area arca mengundang beberapa pengunjung duduk-duduk santai. Tersembunyi di tengah kota, Arca yang merupakan peninggalan nenek moyang ini menjadi salah satu kebanggaan warga Surabaya.







Senin, 10 Juni 2013

Tanjung Papuma

   Tempat tujuan Tanjung Papuma-Jember. Berkumpul ditempat biasa dan rombongan seperti biasa mulai bergerak pukul 23.00 wib dari Surabaya. Sepanjang perjalanan cukup lancar walau ada insiden "kue beracun" :D (sedikit lebih baik dari pada insiden "hp terbang"). Rata-rata menghabiskan waktu untuk tidur sepanjang perjalanan untuk menghimpun tenaga mengejar sunrise di Papuma, hanya beberapa rekan yang masih terjaga untuk ngobrol dengan "driver". Pukul 04.00 wib, mengira bakal jadi pengunjung pertama di Papuma, ternyata keliru besar, sudah banyak rombongan yang duduk-duduk menanti sunrise juga. Alhasil, sunrise yang ditunggu sampai pukul 05.00 wib tidak menampakkan diri, diganti dengan awan mendung dan hujan rintik-rintik dari pukul 06.00 wib sampai sekitar satu jam kemudian.
    Begitu cuaca sedikit cerah, kamipun bergerak ke arah bibir pantai, beberapa pengunjung tampaknya tak peduli dengan hujan yang menguyur sepanjang pagi, mereka tetap berhujan-hujan ria sambil bermain dengan ombak pantai yang kian lama kian menggulung besar. Terlihat beberapa kali petugas penjaga pantai memperingati pengunjung yang "membandel" tidak mengindahkan peraturan untuk tidak berenang di pantai. Tanjung Papuma lebih dominan dikunjungi wisatawan lokal, terbilang sekitar 95% turis yang datang adalah wisatawan lokal. Daya tarik dari Tanjung Papuma adalah batu-batu karang yang terlihat nampak menyembul dari permukaan laut, seperti Parai Beach di kepulauan Bangka-Belitung, bedanya air laut di Parai Beach jauh lebih jernih dibandingkan di Tanjung Papuma.
        


   Hal yang menarik di penghujung perjalanan adalah monyet-monyet yang bekeliaran di pepohonan, mereka dengan leluasa bergelayut diantara dahan pohon dan sesekali turun ke tanah mengambil "mencuri" bekal dari pengunjung yang tidak terjaga/lengah, seperti pic monyet ini yang tertangkap kamera mengambil jagung milik salah satu pengunjung. 

  

Rabu, 29 Mei 2013

Kawah Ratu

   Kawah Ratu, tujuan perjalanan kali ini. Beberapa rute dapat ditempuh menuju kawah Ratu, salah satunya adalah trek dari Cidahu yang menjadi pilihan kami. Perjalanan lancar dan cuaca mendukung saat kami tiba di titik awal trek menjadi semakin semangat untuk memulai perjalanan. Hijau dan biru yang menjadi dominan warna sekitar sehingga benar-benar memanjakan mata, langkah kakipun dimulai.
 

   Membelah kerindangan dahan dan mengikuti jalur setapak membuat perjalanan tidak bisa bersisian. Udara yang sejuk membuat paru-paru menjadi segar. Awal perjalanan tidak mengalami hambatan, namun semakin lama jalur trek menjadi semakin agak berat dibandingkan titik awal trek. Melewati beberapa aliran sungai yang terkadang sampai betis, beberapa area yang cukup terjal, bebatuan dan dilengkapi dengan lintah-lintah yang dengan senang menempel di kaki adalah bagian dari perjalanan kali ini.
   Sebelum sampai kawah, kami melewati lapangan cukup luas yang ternyata biasanya dipakai untuk kemping, disini kami hanya berisitirahat sejenak. Perjalanan diteruskan, beberapa rombongan juga terlihat menyusuri jalan yang sama. Bau belerang yang tertiup angin mulai menandakan bahwa tempat yang kami tuju mulai dekat. Yup, akhirnya sampailah ke kawah Ratu.



   Asap putih mengepul, gersang dan terlihat beberapa aliran air yang hangat. Saat angin menerpa ke arah wajah, bau belerang yang menyengat terasa, membuat paru-paru sedikit merasa sesak dan mata menjadi perih. Warna hijau dan biru berganti dengan dominan asap putih. Perjalanan kali ini mengasyikkan.

Air Terjun Madakaripura

   Air terjun Madakaripura, merupakan serangkaian objek wisata yang tidak terlalu jauh dari tempat wisata kawah Bromo. Patung Patih Gajahmada sebagai penanda titik awal dalam melakukan perjalanan menuju air terjun yang eksotik. Usaha untuk melepaskan sepatu agar tidak basah karena air sungai ternyata diluar perkiraan, karena yang terjadi malah telapak kaki menjadi sakit akibat struktur bebatuan yang tidak rata. Akhirnya diputuskan membeli sandal yang banyak dijual di sepanjang perjalanan menuju air terjun, pun warung-warung sederhana  menjual panganan kecil, mie instan dan minuman juga nampak disana. Beberapa pengunjung yang telah lebih dulu tiba di tempat tujuan terlihat berpas-pasan dengan kami saat mereka kembali ke arah titik awal.


















   Perjalanan ini memiliki tantangan tersendiri, melewati licinnya bebatuan pada anak sungai, jalanan tidak rata juga melewati tebing yang terjal saat tujuan ke air terjun sudah didepan mata, sehingga membuat kita harus berhenti sejenak untuk memberi kesempatan bagi para pengunjung dari arah berlawan karena tebing tersebut hanya bisa dilewati satu persatu.
   Perjuangan terbayar dengan suguhan air terjun dan nuansa alam yang indah. Konon, cerug yang berada di dekat air terjun ini merupakan tempat pertapaan patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Alam Indonesia memang luar biasa.

Senin, 27 Mei 2013

Penanjakan

     Keinginan untuk melihat view Bromo dari area penanjakan membawa kami berangkat dari Surabaya pukul 23.00 Wib. Berharap agar dapat tiba di tempat sebelum sunrise. Perjalanan menggunakan roda dua menembus malam tidak menyurutkan semangat. Sepanjang perjalanan sesekali kami bertemu dengan rekan-rekan backpaker yang mungkin beberapa dari mereka keliatannya juga memiliki tujuan yang sama dengan kami.
   

     Berada di titik pemberhentian pertama dan kedua, kedatangan kami di sambut para pedagang syal, topi dan mantel, sementara itu banyaknya pengunjung yang  terbilang padat, mulai dari turis lokal sampai turis mancanegara membuat kami harus mengantri pada saat membeli tiket, berdesak-desakan tapi masih terbilang teratur. Akhirnya setelah cukup sabar menanti, tiket didapat dan perjalanan kembali diteruskan. 
   Pukul 03.00Wib, dengan menahan rasa dingin kami menuju ke gardu penanjakan, memilih posisi yang tepat untuk dapat menikmati sunrise. Saat semburat tipis mulai terlihat di ufuk timur sekitar pukul 04.30 Wib, seketika itu juga suara kamera dan kilatan cahaya memenuhi gardu penanjakan, berbaur dengan suara obrolan pengunjung. Sunrise yang indah, satu waktu jika memiliki kesempatan lagi, ingin kembali ke sana.

Bromo

   Bromo, salah satu tempat wisata di Jawa Timur, tepatnya di kabupaten Pasuruan, merupakan salah satu dari objek wisata yang tidak henti-hentinya dikunjungi wisatawan baik lokal maupun internasional. Keindahan Bromo serta tantangan pendakian ke kawah Bromo merupakan keasyikan tersendiri. Wisatawan dapat memiliki beberapa alternatif untuk mencapai ke anak tangga kawah, dengan jeep melewati padang pasir yang kemudian diteruskan dengan berjalan kaki mencapai anak tangga kawah, dapat juga dengan cara menunggang kuda yang akan membawa kita sanpai anak tangga sehingga kita tinggal menyelesaikan sedikit  perjalanan menuju kawah dengan menaikkan anak tangga, dan yang memiliki stamina kuat dapat memutuskan berjalan kaki menyisir padang pasir sampai ke puncak kawah. Apapun itu pilihannya, disarankan memiliki stamina yang oke juga mempersiapkan diri dengan membawa masker extra.
    Debu yang tebal berhamburan akibat dari hentakan kaki kuda sepanjang perjalanan, roda jeep yang beradu dengan pasir ataupun ayunan langkah wisatawan ditambah tiupan angin membuat debu dengan senang hati menari-nari disekeliling kita.
   Saat musim liburan ataupun hari Sabtu dan Minggu, Bromo menjadi salah satu objek favorite ini akan dipadati oleh pengunjung, sehingga ada kalanya saat kita berjuang mencapai puncak kawah maka kita harus ikut antrian menaikkan satu persatu anak tangga. Kepadatan ini menyebabkan kita tidak bisa terlalu leluasa bergerak naik dengan cepat ataupun turun dengan cepat karena terkadang, beberapa pengunjung akan berhenti melepas lelah sejenak di anak tangga, mau tak mau kitapun harus mengatur ritme berjalan.
 
   Hal yang membuat puas adalah saat anak tangga teratas diinjak, menandakan pencapaian pada kawah puncak sudah tercapai, kelegaan menyeruak di hati, akhirnya dapat menikmati pemandangan kawah Bromo. Udara panas, debu yang bertebaran dan penat menaiki anak tangga seketika hilang saat  melihat keindahan pemandangan dari puncak kawah Bromo.

Minggu, 26 Mei 2013

Candi Tegowangi


 
   
   

     Candi Tegowangi salah satu candi beraliran Hindu yang diperkirakan dibangun sekitar 1400 Masehi pada masa kerajaan Majapahit. Candi ini masih terpelihara dengan baik, walau kondisinya sudah tidak utuh lagi. Beberapa arca terlihat disusun disebelah candi, juga masih nampak sisa bangunan candi disalah satu sudut candi utama.



 Beberapa pekerja nampak sedang melakukan perawatan candi dengan membersihan bagian-bagian yang kotor pada ukiran candi menggunakan beberapa batang lidi saat kami berkunjung ke sana, sementara pekerja yang lain membersihkan halaman candi. Salah seorang yang bertindak sebagai kepala koordinir menyempatkan diri untuk mengantar kami berkeliling candi dan mengijinkan kami menaikkan bagian atas candi. 

   Tiba di atas, satu-satunya yang ada adalah Yoni, tanpa Lingga, hal ini dibenarkan oleh penjaga bahwa dari awal ditemukan bangunan ini memang tidak ada Lingga. Pada salah satu bagian bawah penyangga Yoni, sudah bukan batu asli lagi, namun batu yang diambil dari daerah setempat yang memiliki masa umur sama dengan bangunan candi tersebut, sehingga jika sekilas dilihat tidak ada perbedaan dengan penyangga Yoni lainnya. Menurut referensi, candi Tegowangi merupakan tempat pendermaan Bhre Mentahun seperti yang tertera dalam kitab Pararaton.